Nama : Nur Rindi Dwi J
NPM : 25211323
Kelas : 1EB21
Perkembangan Sistem Perekonomian Indonesia
Perekonomian Indonesia sejak awal pemroklamirkan Kemerdekaan Indonesia sampai saat ini terus berkembang, perkembangan terus terjadi dan terus meningkatkan perekonomian Indonesia. Berawal dari tanggal 17 Agustus 1945 hingga perkembangan dalam masa pembangunan. Dalam proses perkembangan ekonomi tidak sedikit mengalami pasang surut dan kendala-kendala yang banyak menghambat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Bagaimana perkembangan ekonomi dan penyelesaian masalah ekonomi pada tahun yang sudah lewat akan di bahas pada pembahasan Sistem Perekonomian Indonesia.
1. Orde Lama
- Kondisi politik:
a) Indonesia menghadapi 2 perang besar dengan Belanda
b) Gejolak politik dalam negeri dan beberapa pemberontakan
c) Manajemen ekonomi makro yang buruk
- Kondisi ekonomi tidak menguntungkan:
a) Selama dekade 1950an, pertumbuhan ekonomi rata-rata 7%
b) Periode 1960 – 1966, pertumbuhan ekonomi 1,9% dan stagflasi (high rate of unemployment and inflation)
c) Periode 1955 – 1965, rata-rata pendapatan pemerintah Rp 151 juta dan pengeluaran Rp 359 juta
d) Produksi sektor pertanian dan perindustrian sangat rendah sebagai akibat dari kurangnya kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung
e) Jumlah uang yang beredar berlebihan, sehingga terjadi inflasi
2. Orde Baru
Sejak Maret 1966.
Pemerintah mengarahkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi dan sosial.
Pemerintah meninggalkan idiologi komunis dan menjalin hubungan dengan Negara barat dan menjadi anggota PBB, IMF, dan Bank Dunia.
Kondisi perekonomian Indonesia:
(a) Ketidakmampuan membayar hutang LN US $32 Milyar
(b) Penerimaan ekspor hanya setengah dari pengeluaran untuk impor
(c) Pengendalian anggaran belanja dan pemungutan pajak yang tidak berdaya
(d) Inflasi 30 – 50 persen per bulan
(e) Kondisi prasarana perekonomian yang bururk
(f) Kapasitas produktif sektor industri dan ekspor menurun
Prioritas kebijakan ekonomi:
(a) Memerangi hiperinflasi
(b) Mencukupkan persediaan pangan (beras)
(c) merehabilitasi prasaran perekonomian
(d) Peningkatan ekspor
(e) Penyediaan lapangan kerja
(f) Mengundang investor asing
Program ekonomi orde baru mencakup:
(a)Jangka pendek
• Juli – Desember 1966 untuk program pemulihan
• Januari – Juni 1967 untuk tahap rehabilitasi
• Juli – Desember 1967 untuk tahap konsolidasi
• Januari – Juni 1968 untuk tahap stabilisasi
(b)Jangka panjang yang berupa Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) mulai April tahun 1969.
Dalam rangka mendukung kebijakan jangka pendek, pemerintah:
(a) Memperkenalkan kebijakan anggaran berimbang (balanced budget policy)
(b) Pembentukan IGGI
(c) Melakukan reformasi terhadap sistem perbankan
• UU tahun 1967 tentang Perbankan
• UU tahun 1968 tentang Bank Sentral
• UU tahun 1968 tentang Bank Asing
(d) Menjadi anggota kembali IMF
(e) Pemberian peran yang lebih besar kepada bank bank dan lembaga keuangan lain sebagai ’”agen pembangunan”. Dengan memobilisasi tabungan masyarakat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan memainkan peranan penting untuk pembangunan pasar uang dan pasar modal.
Mulai 1 April 1969, Program pembangunan jangka panjang terdiri dari tahapan-tahapan REPELITA dengan sasaran:
(a) stabilitas perekonomian
(b) pertumbuhan ekonomi
(c) pemerataan hasil pembangunan
REPELITA I 1969 – 1974 dengan sasaran: (a) stabilitas perekonomian; (b) pertumbuhan ekonomi; dan (c) pemerataan hasil pembangunan
REPELITA II 1974 – 1979 dengan sasaran: (a) pertumbuhan ekonomi; (b) pemerataan hasil pembangunan; dan (c) stabilitas perekonomian
REPELITA III 1979 – 1984, REPELITA IV 1984 – 1989, REPELITA V 1989 – 1994, REPELITA VI 1994 – 1999 dengan sasaran: (a) pemerataan hasil pembangunan; (b) pertumbuhan ekonomi dan (c) stabilitas perekonomian
Prestasi Ekonomi dan Kondisi Ekonomi Per REPELITA.
REPELITA I dan II
Prestasi:
• Pertumbuhan ekonomi 6 persen per tahun
• Investasi meningkat dari 11 persen menjadi 24 persen dari PDB selama 10 tahun
• Kontribusi tabungan meningkat dari 23 persen menjadi 55 persen
• Sumber penghasilan utama devisa adalah ekspor minyak bumi kurang lebih 2/3 dari total penerimaan
• Inflasi rata-rata 17 persen
• Porsi pelunasan hutang 9,3 persen dan 11,8 persen dari pengeluaran
Kondisi:
• Boom minyak tahun 1973 dan 1978
Kibijakan:
• Devaluasi rupiah dari Rp 415 menjadi Rp 625/$
REPELITA III
Prestasi:
• Ekspor neto migas turun 38 persen
• Ekspor nonmigas turun 30 persen
• Impor nonmigas meningkat
• Neraca berjalan (current account) dari suprlus US $2.7 milyar menjadi difisit US $6.7 milyar
• PDB tumbuh hanya 2,24 persen
• Laju inflasi rata-rata 9 persen
• Porsi pelunasan hutang 17,3 persen dari pengeluaran
Kondisi:
• Boom minyak tahun 1982/1983
• Kemelut minyak dan resesi dinegara industri menyebabkan OPEC memotong harga dan produksi minyak
• Devaluasi 28 persen tahun 1983
Kibijakan:
• Penghematan anggaran belanja
• Penambahan pinjaman luar negeri
• Penggalakan ekspor nonmigas
• Pembatasan impor barang mewah
• Pengurangan perjalanan ke luar negeri
• Penggalakan penggunaan barang dalam negeri
• Penjadualan ulang dan pembatalan 50 persen proyek sektor publik
• Gaji pegawai negeri tidak dinaikkan
• Penaikan harga bahan bakar minyak tahun 1984 dengan mengurangi subsidi
• Pengurangan subsidi atas pupuk, pesticida, dan pangan
• Pembaharuan UU perpajakan tahun 1984
• Deregulasi parcial sistem perbankan dengan menyerahkan penentuan tingkat bunga kepada masing-masing bank peniadaan sistem pagu kredit
REPELITA IV
Prestasi:
• Pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,32 persen
• Beban hutang luar negeri menjadi membesar
• Penghematan anggaran dan pengawasan serta penertiban penggunaan anggaran
• Perkembangan pasar modal dan sektor perbankan yang luar biasa
• Laju inflasi rata-rata 9 persen
• Porsi pelunasan hutang 41,2 persen dari pengeluaran
Kondisi:
• Harga minyak turun menjadi US $10
Kibijakan:
• Deregulasi dan debirokratisasi untuk mengurangi cambur tangan pemerintah untuk memberikan kesempatan pihak swasta dan investor asing dalam pembangunan
• Devaluasi untuk meningkatkan ekspor non migas
REPELITA V
Prestasi:
• Pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,7 persen
• Ekspor komoditas non migas meningkat
• Porsi pelunasan hutang 44,6 persen dari pengeluaran
Kondisi:
• Harga minyak turun menjadi US $10
Kibijakan:
•mDeregulasi dan debirokratisasi terus dilakukan untuk menekan ekonomi biaya tinggi dan meningkatkan efisiensi nasional
REPELITA VI
Kibijakan:
•Pemberian paket-paket deregulasi dalam bentuk penyusunan dan perbaikan undang-undang yakni UU No. 25 tahun 1990 tentang koperasi, UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, dan UU No. 9-12 tentang perpajakan
3. Masa Reformasi
* Masa Pemerintahan Presiden BJ. Habibie
mengawali masa reformasi belum melakukan manuver – manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan – kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik.
* Masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid
belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia dari keterpurukan padahal ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain : masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah.
* Masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri
Masalah – masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
a. Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 Milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b. Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
* Masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan serta bidang – bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial, seperti ribut saat mengantri yang bahkan berujung pada hilangnya nyawa seseorang.
Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salahsatunya adalah revisi undang – undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan Bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa hutang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda – agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dengan miskin menajam dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain : pengucuran kredit perbankan ke sektor riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI) sehingga kinerja sektor riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri tetapi di lain pihak, kondisi ekonomi dalam negeri masih kurang kondusif.
Sumber :
http://kuswanto.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/folder/0.5, http://luthfiaffandi.blogspot.com/2011/05/perkembangan-sistem-perekonomian.html, dan http://dewi-susanti13.blogspot.com/2011/02/perkembangan-sistem-ekonomi-indonesia.html
NPM : 25211323
Kelas : 1EB21
SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA
Perkembangan Sistem Perekonomian Indonesia
Perekonomian Indonesia sejak awal pemroklamirkan Kemerdekaan Indonesia sampai saat ini terus berkembang, perkembangan terus terjadi dan terus meningkatkan perekonomian Indonesia. Berawal dari tanggal 17 Agustus 1945 hingga perkembangan dalam masa pembangunan. Dalam proses perkembangan ekonomi tidak sedikit mengalami pasang surut dan kendala-kendala yang banyak menghambat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Bagaimana perkembangan ekonomi dan penyelesaian masalah ekonomi pada tahun yang sudah lewat akan di bahas pada pembahasan Sistem Perekonomian Indonesia.
1. Orde Lama
- Kondisi politik:
a) Indonesia menghadapi 2 perang besar dengan Belanda
b) Gejolak politik dalam negeri dan beberapa pemberontakan
c) Manajemen ekonomi makro yang buruk
- Kondisi ekonomi tidak menguntungkan:
a) Selama dekade 1950an, pertumbuhan ekonomi rata-rata 7%
b) Periode 1960 – 1966, pertumbuhan ekonomi 1,9% dan stagflasi (high rate of unemployment and inflation)
c) Periode 1955 – 1965, rata-rata pendapatan pemerintah Rp 151 juta dan pengeluaran Rp 359 juta
d) Produksi sektor pertanian dan perindustrian sangat rendah sebagai akibat dari kurangnya kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung
e) Jumlah uang yang beredar berlebihan, sehingga terjadi inflasi
2. Orde Baru
Sejak Maret 1966.
Pemerintah mengarahkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi dan sosial.
Pemerintah meninggalkan idiologi komunis dan menjalin hubungan dengan Negara barat dan menjadi anggota PBB, IMF, dan Bank Dunia.
Kondisi perekonomian Indonesia:
(a) Ketidakmampuan membayar hutang LN US $32 Milyar
(b) Penerimaan ekspor hanya setengah dari pengeluaran untuk impor
(c) Pengendalian anggaran belanja dan pemungutan pajak yang tidak berdaya
(d) Inflasi 30 – 50 persen per bulan
(e) Kondisi prasarana perekonomian yang bururk
(f) Kapasitas produktif sektor industri dan ekspor menurun
Prioritas kebijakan ekonomi:
(a) Memerangi hiperinflasi
(b) Mencukupkan persediaan pangan (beras)
(c) merehabilitasi prasaran perekonomian
(d) Peningkatan ekspor
(e) Penyediaan lapangan kerja
(f) Mengundang investor asing
Program ekonomi orde baru mencakup:
(a)Jangka pendek
• Juli – Desember 1966 untuk program pemulihan
• Januari – Juni 1967 untuk tahap rehabilitasi
• Juli – Desember 1967 untuk tahap konsolidasi
• Januari – Juni 1968 untuk tahap stabilisasi
(b)Jangka panjang yang berupa Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) mulai April tahun 1969.
Dalam rangka mendukung kebijakan jangka pendek, pemerintah:
(a) Memperkenalkan kebijakan anggaran berimbang (balanced budget policy)
(b) Pembentukan IGGI
(c) Melakukan reformasi terhadap sistem perbankan
• UU tahun 1967 tentang Perbankan
• UU tahun 1968 tentang Bank Sentral
• UU tahun 1968 tentang Bank Asing
(d) Menjadi anggota kembali IMF
(e) Pemberian peran yang lebih besar kepada bank bank dan lembaga keuangan lain sebagai ’”agen pembangunan”. Dengan memobilisasi tabungan masyarakat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan memainkan peranan penting untuk pembangunan pasar uang dan pasar modal.
Mulai 1 April 1969, Program pembangunan jangka panjang terdiri dari tahapan-tahapan REPELITA dengan sasaran:
(a) stabilitas perekonomian
(b) pertumbuhan ekonomi
(c) pemerataan hasil pembangunan
REPELITA I 1969 – 1974 dengan sasaran: (a) stabilitas perekonomian; (b) pertumbuhan ekonomi; dan (c) pemerataan hasil pembangunan
REPELITA II 1974 – 1979 dengan sasaran: (a) pertumbuhan ekonomi; (b) pemerataan hasil pembangunan; dan (c) stabilitas perekonomian
REPELITA III 1979 – 1984, REPELITA IV 1984 – 1989, REPELITA V 1989 – 1994, REPELITA VI 1994 – 1999 dengan sasaran: (a) pemerataan hasil pembangunan; (b) pertumbuhan ekonomi dan (c) stabilitas perekonomian
Prestasi Ekonomi dan Kondisi Ekonomi Per REPELITA.
REPELITA I dan II
Prestasi:
• Pertumbuhan ekonomi 6 persen per tahun
• Investasi meningkat dari 11 persen menjadi 24 persen dari PDB selama 10 tahun
• Kontribusi tabungan meningkat dari 23 persen menjadi 55 persen
• Sumber penghasilan utama devisa adalah ekspor minyak bumi kurang lebih 2/3 dari total penerimaan
• Inflasi rata-rata 17 persen
• Porsi pelunasan hutang 9,3 persen dan 11,8 persen dari pengeluaran
Kondisi:
• Boom minyak tahun 1973 dan 1978
Kibijakan:
• Devaluasi rupiah dari Rp 415 menjadi Rp 625/$
REPELITA III
Prestasi:
• Ekspor neto migas turun 38 persen
• Ekspor nonmigas turun 30 persen
• Impor nonmigas meningkat
• Neraca berjalan (current account) dari suprlus US $2.7 milyar menjadi difisit US $6.7 milyar
• PDB tumbuh hanya 2,24 persen
• Laju inflasi rata-rata 9 persen
• Porsi pelunasan hutang 17,3 persen dari pengeluaran
Kondisi:
• Boom minyak tahun 1982/1983
• Kemelut minyak dan resesi dinegara industri menyebabkan OPEC memotong harga dan produksi minyak
• Devaluasi 28 persen tahun 1983
Kibijakan:
• Penghematan anggaran belanja
• Penambahan pinjaman luar negeri
• Penggalakan ekspor nonmigas
• Pembatasan impor barang mewah
• Pengurangan perjalanan ke luar negeri
• Penggalakan penggunaan barang dalam negeri
• Penjadualan ulang dan pembatalan 50 persen proyek sektor publik
• Gaji pegawai negeri tidak dinaikkan
• Penaikan harga bahan bakar minyak tahun 1984 dengan mengurangi subsidi
• Pengurangan subsidi atas pupuk, pesticida, dan pangan
• Pembaharuan UU perpajakan tahun 1984
• Deregulasi parcial sistem perbankan dengan menyerahkan penentuan tingkat bunga kepada masing-masing bank peniadaan sistem pagu kredit
REPELITA IV
Prestasi:
• Pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,32 persen
• Beban hutang luar negeri menjadi membesar
• Penghematan anggaran dan pengawasan serta penertiban penggunaan anggaran
• Perkembangan pasar modal dan sektor perbankan yang luar biasa
• Laju inflasi rata-rata 9 persen
• Porsi pelunasan hutang 41,2 persen dari pengeluaran
Kondisi:
• Harga minyak turun menjadi US $10
Kibijakan:
• Deregulasi dan debirokratisasi untuk mengurangi cambur tangan pemerintah untuk memberikan kesempatan pihak swasta dan investor asing dalam pembangunan
• Devaluasi untuk meningkatkan ekspor non migas
REPELITA V
Prestasi:
• Pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,7 persen
• Ekspor komoditas non migas meningkat
• Porsi pelunasan hutang 44,6 persen dari pengeluaran
Kondisi:
• Harga minyak turun menjadi US $10
Kibijakan:
•mDeregulasi dan debirokratisasi terus dilakukan untuk menekan ekonomi biaya tinggi dan meningkatkan efisiensi nasional
REPELITA VI
Kibijakan:
•Pemberian paket-paket deregulasi dalam bentuk penyusunan dan perbaikan undang-undang yakni UU No. 25 tahun 1990 tentang koperasi, UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, dan UU No. 9-12 tentang perpajakan
3. Masa Reformasi
* Masa Pemerintahan Presiden BJ. Habibie
mengawali masa reformasi belum melakukan manuver – manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan – kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik.
* Masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid
belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia dari keterpurukan padahal ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain : masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah.
* Masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri
Masalah – masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
a. Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 Milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b. Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
* Masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan serta bidang – bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial, seperti ribut saat mengantri yang bahkan berujung pada hilangnya nyawa seseorang.
Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salahsatunya adalah revisi undang – undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan Bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa hutang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda – agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dengan miskin menajam dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain : pengucuran kredit perbankan ke sektor riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI) sehingga kinerja sektor riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri tetapi di lain pihak, kondisi ekonomi dalam negeri masih kurang kondusif.
Sumber :
http://kuswanto.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/folder/0.5, http://luthfiaffandi.blogspot.com/2011/05/perkembangan-sistem-perekonomian.html, dan http://dewi-susanti13.blogspot.com/2011/02/perkembangan-sistem-ekonomi-indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar