KabarIndonesia - Sejarah ekonomi Indonesia selalu ditandai tarikan kepentingan politik dan respons pragmatis terhadap berbagai masalah dan kemungkinan ekonomi, baik di lingkungan lokal maupun global. Tepat kiranya untuk mengatakan bahwa para ekonom dan teknokrat Indonesia, baik pada masa awal kemerdekaan maupun pada masa Orde Baru dan Reformasi, hanya bertindak sebagai franchisepemikiran Barat. Dengan kata lain mereka tidak menciptakan teori sendiri yang orisinal (Dawam Rahardjo, 1992).
Globalisasi informasi dan teknologi mengarahkan paradigma mereka menjadi kutu loncat dari satu pasar ke pasar yang lain. Padahal, merekalah yang ditasbihkan sebagai motor penggerak untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Iklim ekonomi yang (relatif) kondusif belakangan ini akan membawa pengambil kebijakan negeri ini terbuai mimpi manis “Indonesia Incorporate”yang dalam praktiknya lebih banyak disalahgunakan dan diselewengkan. Saat mimpi-mimpi ini terkubur, pragmatisme kebijakan ekonomi dijadikan solusi pintas keluar dari aneka masalah, yang kerap disebabkan salah urus dan pencampuradukan ekonomi dan politik yang berlebihan.
Pragmatisme ekonomi disini berarti suatu pendapat bahwa untuk mencapai kemakmuran masyarakat tindakan-tindakan ekonomi lebih relevan dibandingkan memperbincangkan prinsip realitasnya (ontology). Dalam pendekatan filsafat, pragmatisme adalah cara berpikir yang menempatkan kebenaran pendapat diukur dari hasil praktisnya (outcome).
Dialektika kebijakan ekonomi lebih 40 tahun terakhir membuktikan pergolakan ini. Tumpukan masalah yang nyaris membekukan perekonomian pada era Orde Lama bisa kemudian dicairkan dengan kebijakan pragmatisme liberalisasi keuangan dan perdagangan pada akhir 1960-an. Namun, kebijakan ini tidak bertahan lama. Iklim ekonomi global yang kondusif berupa membumbungnya harga minyak pada era 1970-an dan awal 1980-an menyebabkan kuatnya kembali tarikan politik dalam perekonomian, yang ditandai dengan proteksi dan subsidi besar-besaran. Ketika harga minyak kembali turun pada awal 1980-an, sekali lagi dibutuhkan respon pragmatis melalui deregulasi besar-besaran dan pemberangusan berbagai subsidi yang bersifat distorsif pada perekonomian.
Manifestasi dari dualisme tarikan itu adalah satu bentuk kabinet bifurkasi (Rock 1995, 1999). Kabinet bifurkasi adalah satu kebijakan dua kaki. Di satu sisi ada teknorat ekonomi yang bertanggung jawab mengelola kebijakan makro-ekonomi berupa pengendalian inflasi, suku bunga, nilai tukar, berbagai kebijakan, dll. Di sisi mikro-ekonomi ditempatkan para kroni dan kaki tangan politik dari mereka yang dekat dengan kekuasaan, sebagai balas jasa politik atau untuk berbagai tujuan lain yang pada intinya demi melanggengkan dan menambah kekuasaan.
Konsekuensi kabinet bifurkasi, para teknorat ekonomi adalah sebatas montir yang digunakan sewaktu-waktu bila mesin perekonomian memanas atau memerlukan terapi tertentu. Sementara pengendali sebenarnya dari roda perekonomian adalah mereka yang dekat tampuk kekuasaan berikut para kroninya. Pelaku pasar, dan investor justru memiliki kesempatan untuk menjalankan kegiatan ekonominya tanpa harus terganggu oleh perbenturan pasar ekonomi yang keras.
Jadi, proses politik dan perilaku elite tampak membingungkan. Tetapi, hal tersebut juga harus dianggap sebagai proses belajar demokrasi dan bisa juga cuma sebuah refleksi kedangkalan politik Indonesia. Kegaduhan tersebut seperti kegaduhan pasar pada umumnya.
Dewasa ini, pada Orde Reformasi, pola yang sama terus berlanjut dengan pengungkapan dan tekanan implikasi yang nyaris serupa. Perekonomian dibiarkan berjalan tanpa prioritas dan alur yang jelas pada bidang mikro, seperti kebijakan penguatan sektor riil di bidang pertanian, industri, dan ketenagakerjaan. Sementara saat terjadi masalah, seperti krisis global, berbagai jurus dan kebijakan yang bersifat makro dikeluarkan, untuk menjaga perekonomian terjerembab lebih dalam dan mempercepatnya keluar dari krisis.
Pola ini terus berlanjut pada pemilihan kebijakan ekonomi 2009-2014. Pada portofolio di bidang makro, para teknorat akan ditempatkan dengan misi mempercepat transisi krisis dan memperkuat fondasi makro-ekonomi. Sementara pada bidang mikro akan diisi oleh mereka yang dipilih atas dasar balas jasa politik atau kepentingan kekuasaan yang ada.
Berlanjutnya pola bifurkasi disebabkan masih adanya kebutuhan jaminan stabilitas politik dalam pemerintahan lima tahun ke depan. Hal ini terlepas dari dominannya koalisi pemerintahan yang akan terbentuk. Dukungan parlemen mayoritas saat ini amat rentan terhadap ketidakpuasan. Dengan demikian, bila elemen-elemen pendukungnya tidak diakomodasi dalam gemah ripah singgasana kekuasaan akan menyebabkan guncangan dari dalam, yang bisa mengganggu jalannya pemerintahan.
Pembentukan kabinet bifurkasi berlanjut ini dalam jangka pendek memang terbukti efektif menyelamatkan Indonesia dari dampak krisis global, meski harus diakui bahwa kebijakan ini bukan satu-satunya penyelamat perekonomian Indonesia. Akan tetapi, pembentukan kabinet bifurkasi tidak memberikan signifikansi ‘bantuan’ dalam mengatasi persoalan kronis, seperti kemiskinan dan pengangguran, de-industrialisasi serta kekakuan pasar kerja, dibutuhkan kebijakan ekonomi yang genial di bidang mikro, untuk melakukan aneka terobosan guna menghentikan pelemahan sektor riil yang terus menghantam.
Sumber : http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=Ekonomi+Indonesia+yang+Pragmatis&dn=20120511112806
Minggu, 13 Mei 2012
Ekonomi Indonesia yang Pragmatis
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar